“Kadang ketika aku melihat angsa itu aku merasakan sangat
iri terhadapnya..”
Pikiran intan melayang-layang ke angkasa biru membanyangkan
dirinya berada di posisi sang angsa yang sedang berlenggok bak model di atas
air.
“kenapa kamu iri terhadapnya?”
Intan tersenyum simpul menanggapi pertanyaan dari sang
bunda. “karena angsa cantik. Dia bisa memamerkan keindahannya ketika dia berada
dimanapun”
“lalu?”
“tidak seperti aku, bun..”
mata intan berbinar, ia merunduk untuk menyembunyikan hal
tersebut. Namun sayang bunda pasti tahu apa yang sedang terjadi dan dirasakan
oleh anak semata wayangnya ini. Ia pun mendekati intan yang percis berada
dipinggiran kolam belakang ruang inapnya, tempat kesukaannya berdiam diri.
Bunda memeluknya erat.
“kau tidak perlu berbicara seperti itu, sayang”
“tapi memang kenyataannya seperti itu kan?!”
nada bicaranya meninggi. Sontak membuat sang bunda terkejut
dan hanya bisa mengelus dadanya secara perlahan. Ia tahu keadaan seperti ini
sangat menganggu psikis anaknya “bertahanlah sayang, kamu anak bunda yang
sangat hebat”
*
Tetesan air dari langit sudah mulai membasahi bumi. Dercakan
genangan air banyak terdengar dari berbagai sudut yang ada. Siang ini tidak
secerah siang-siang sebelumnya. Awan
kelam tengah menyelimuti sebagian wilayah kota bekasi. Intan menikmati sekali
suasana seperti ini. Dari salah satu jendela kelas ia menatap penuh binar
keluar sana. “apa reihan sedang memikirkanku juga ya?”
Seperti biasa, rintik-rintik hujan selalu membawanya pada
kenangan-kenangan saat bersama reihan, kekasihnya. Saat ini ia sedang berlatih
piano di ruang khusus seni budaya. Sejak sebulan yang lalu intan mulai aktif
dalam kegiatan bermusik, salah satunya piano. Sejujurnya ia sangatlah benci
dengan hal itu, ia mempunyai alasan tersendiri akan hal tersebut namun sejak
kehadiran reihan dalam lembaran hidupnya intan sedikit demi sedikit berubah
termasuk menyukai dan menggeluti bidang pianis karena ia tahu reihan sangatlah
menyukai wanita yang bermain piano.
“hei, apa yang sedang kau pikirkan?”
Dialog secara tiba-tiba tersebut ampuh membuat intan
berlonjak kaget “kamu apa-apaan sih ko ga permisi dulu?”
Reihan tersenyum simpul “kamu asyik banget sih ngelamunnya”
seraya mencubit pipi intan mesra “udah selesai latihan pianonya?”
“udah” intan mendengus
kesal lalu membuang muka
“hey, yang lagi ulang tahun sweet seventeen jangan marah
dong.. kan mau kita rayain”
“yaudah ayo berangkat!” pintanya
“ini kan masih gerimis, tadi mamah kamu juga sms aku buat
ingetin kamu supaya langsung pulang”
“ah, biarin aja! Paling bunda nyuruh aku tidur siang. Kamu
mau aku tak marah, tapi kau membuatku kesal!” ujarnya cecar menanggapi uraian
dari reihan
Reihan yang melihat intan mulai naik pitam seperti itu hanya
bisa mengangguk pasrah mengikuti kemauan intan. Bergegas reihan mengeluarkan motornya
dari halaman parkir sekolah disertai tetesan-tetesan air langit yang mulai menghujam
tubuh meninggalkan bekas hitam memudar di-putih abu-abu-mereka. Merasa angin
sudah cukup menggoyahkan tubuh mungil intan, reihan menawarkan jaketnya untuk
dipakai intan. Namun intan menolaknya “kamu bandel banget sih! Kalau kamu sakit
siapa yang repot?”
“udah ah biarin! Ribet tau” ujarnya cuek. Tiba-tiba
handphonenya bergetar sang bunda mentelpon.
“ada apa bun? Aku lagi dijalan…. Hah?.... gak mau ah….. iya
iya nanti aku pasti pulang ko…. Udah deh jangan rewel aku udah gede bun
gakperlu di atur-atur terus….. yaudah ah masa bodo terserah bunda!”
Telepon terputus.
“kamu kok kasar bicara dengan mamahmu sendiri?” nada bicara
reihan mulai meninggi. Ia sangat kesal mendengar kata-kata intan “minta maaf
sana telepon balik”
“engga ah gakmau! Mamah Cuma nyuruh aku pulang buat tidur
siang istirahat. Sekarang kan kita mau pergi. Aku gakmau pulang dulu” rengeknya
seraya memeluk pinggang reihan dengan erat
“lepasin! Aku gak suka pacarku berbicara seperti itu kepada
mamahnya sendiri. Orang yang sudah melahirkan dan membesarkanmu sampai kamu
seperti sekarang ini!” Pertengkaran adu mulut pun tak terkelakan. Saling beragumentasi
di kala hujan menerpa seakan menambah latar belakang emosi semakin timbul. Motor
yang dipacupun semakin tak terkendali
“reihan awaaaaaaaas!!!!!!”
*
“bunda..”
“iya sayang, bunda disini”
“sakit bun..”
“yang mana yang sakit? Sini bunda pijit”
“kaki aku.. iya bunda aku mau dipijit”
“iya sayang, ini bunda pijitin kamu tiduran aja”
“bagaimana dengan keadaan intan,bu?” seorang dokter masuk
bersama beberapa suster membawa peralatan medis ke ruangan intan dirawat. Sudah
2 hari ini ia dirawat di rumah sakit semenjak kecelakaan yang menimpanya
bersama reihan dari motor. Intan sempat tak sadarkan diri selama beberapa jam
akibat beberapa titik pendarahan di tubuhnya yang lumayan parah. Sedangkan reihan
dia hanya mengalami luka ringan dan tulang tangannya yang retak.
“sudah, dok” bunda menggenggam erat jemari lentik anaknya
tesebut. Tak henti-hentinya dia berdoa demi kesembuhan intan. “bunda mau
ngobrol sebentar ya sama dokternya” bisiknya. Intan mengangguk.
“dok, apa ini semua tidak akan menganggu mental anak saya?”
“tidak, jika ibu bisa menjelaskan sebagaimana anak ibu bisa
mengerti tentang semuanya”
“bundaaaaaa!!!” terdengar teriakan histeris intan dari ruang
inap. Dengan cepat sang bunda dan dokter berlari sekuat tenaga.
“ada apa sayang?” tak dapat jawaban tapi yang didapatinya
hanyalah raut wajah intan yang begitu syok
dengan linangan air mengalir deras di pipi meronanya
“intan kenapa bundaaa?” isak tangisnya menjadi-jadi seiring
bunda memeluk erat tubuhnya “kaki aku mana bundaaa..”
Bunda hanya bisa menangis mendekap intan tanpa merenggang
sedikitpun.
“kakimu kami amputasi” akhirnya sang dokter menjawab semua
kekalutan yang ada
“aku gak terima ini semua bunda!!! Ini salah bunda!”
*
“assalamualaikum..”
“walaikumsalam..” bunda membuka pintu dan ternyata yang
bertamu adalah reihan. Dengan stelan kemeja coklat berambut klimis ia tampak
sangat tampan. Ditambah seikat bunga mawar yang ada di genggamannya, tentu saja
itu semua ia lakukan untuk bertemu sang pujaan hati.
“eh nak reihan, ayo
masuk dulu”
“tidak usah bu, saya ingin langsung bertemu dengan intan. Tampaknya
dia tidak ada di dalam”
Bunda hanya tertawa kecil “dasar anak muda. Intan ada di
kolam ikan belakang ruangan ini”
“oh iya, saya kesana ya bu”
“oh iya, tolong ingatkan intan ya banyak yang lebih kurang
beruntung daripadanya”
Reihan mengangguk.
Tak berapa lama ia sampai di tempat yang dituju. Tempatnya sangat
tenang, hening, tidak bising sama sekali. Banyak pepohonan rindang mengelilingi
kolam ikan tersebut. Ada juga tempat duduk yang tersedia untuk bercengkrama. Reihan
mendapati intan sedang duduk melamun menghadap kolam. Dari belakang intan masih
nampak elok, dengan rambut kecoklatan ikal sebahu reihan sangat menyukai rambut
intan terurai seperti itu.
“intan..” serunya
Ia menoleh “reihan?” terlihat setitik kilau di peupuk
matanya. “aku kangen kamu”
“aku juga” memeluknya dengan erat “ini aku bawa bunga untuk
kamu”
“terimakasih sayang” intan tersenyum merona mendapatkan
kejutan seperti ini. “tapi sayang..” raut wajahnya mulai berubah “apa kamu
masih sayang sama aku? Aku sudah tak sempurna lagi”
“kenapa kamu berbicara seperti itu?”
“aku tidak tahu, aku hanya merasa hidupku sungguh tragis. Aku
kesal. Aku benci dengan keadaan yang ada. Dengan semua yang terjadi padaku aku
tak suka. Aku juga kesal dengan bunda, kalau saat itu bunda tidak meneleponku
mungkin semua ini tidak akan terjadi!”
“tidak ada yang perlu kau sesali. Semua ini sudah suratan
takdir untuk kita semua. Jangan salahkan mamahmu lagi. Seharusnya kamu sadar
siapa yang merawatmu selama ini”
Intan terdiam sejenak. Ia termenung memikirkan baik-baik
segala yang diucapkan oleh reihan kepadanya. Intan menangis tersedu.
“kesempurnaan bukan hanya dari fisik. Tapi dari hati kamu..
aku gak peerduli tentang kaki kamu itu. insyaAllah aku bisa menerimamu dengan
apa adanya”
Mendengar perkataan seperti itu benak intan tergoyangkan. Ia
mngerti tentang semunya
“tapi bagaimana dengan lomba piano ku 2 minggu mendatang?”
“kenapa? Kamu malu dengan keadaanmu yang sekarang? Ingatlah sayang
masih banyak di dunia ini yang hidupnya lebih susah dan menderita dibanding kamu”
Intan tersenyum sumringah “aku akan membahagiakan bunda”
“caranya?” Tanya reihan mendelik
“aku akan menjadi seorang gadis yang periang lagi, aku tidak
akan marah-marah terus, aku tidak akan menggertak bunda, aku akan selalu
menjadi malaikat kecil yang disyang oleh bunda”
***