Sabtu, 26 Oktober 2013

Yang Terlupakan


Terburu-buru, sepasang kaki jenjang itu berlari kecil menyusuri koridor sekolah. Seakan-akan ada sesuatu yang mengejarnya dari belakang dengan cepat. Keringat yang mulai keluar dari tepi keningnya tak menyurutkan langkahnya untuk tetap berlari, hingga ia berhenti di depan salah satu pintu kelas, yaitu kelas 12 ipa 3. Reaksi cepat, mata sipitnya mulai menyisir seisi ruangan. Daannn.. ketemu! Si target telah terlihat. Ia pun langsung menarik tangannya dan membawanya ke sisi lapangan basket.
“sayaaaang!!” suara manis itu terdengar begitu nyaring di telinga si target yang tak lain dan tak bukan adalah pacarnya sendiri. Aldo menatapnya penuh gusar.
“kenapa sih? Pagi-pagi udah berisik”
“iihhhh.. kamu itu ngeselin ya! Kamu gak ngerasa punya dosa?” tanyanya mendelik
“dosa apa sayang?”
“aduuh, kamu tuh lupa atau pura-pura lupa sih?” kini mukanya mulai memerah. Amarahnya telah sampai ke ubun-ubun hingga setitik air mata tampil di ujung pelupuk matanya.
“ Aku salah apa? Aku lupa apa? Aku benar-benar gak tau” Aldo nampak kebingungan “udah dong.. malu tuh di liatin anak-anak lain” imbuhnya
“kamu semalam kemana? Nomer kamu ga bisa di hubungin. Aku nungguin kamu hampir 2 jam tapi kamu gak dateng-dateng. Harusnya kan kita dinner buat rayain hari ulang tahun aku do!” nada dinda mulai meninggi
Akhirnya tangisan dinda keluar dan menjadi-jadi. Aldo terdiam dan merenung mengingat janjinya kepada sang kekasih yang telah di pacarinya selama 2 tahun tersebut. Lalu dia melihat pengingat di kalender handphonenya. Tertera pada jam 20.00 ‘candle light dinner with dinda’. Plaak! Aldo menepuk jidatnya dengan keras.
“ya Tuhan, maafin aku sayang aku lupa. Handphone ku semalam juga error, jadi aku non aktifin. Kamu jangan marah ya” ucapnya penuh sesal. “gimana kalau aku ganti deh dinner kita yang semalem, kita nonton aja malam ini, yuk? Aku traktir mie ramen deh 2 mangkok” aldo mencoba membujuk dinda agar tak marah lagi kepadanya. Perlahan namun pasti, mulai terlihat seuntai senyum tipis di raut wajah orientalnya dinda.
 “oke” angguknya setuju
Aldo tersenyum lega. Ini sudah kesekian kalinya aldo mengecewakannya. Namun dinda masih sanggup dan bersabar menghadapi salah satu kebiasaan aldo yang menurutnya sangatlah aneh. Berbeda dengan mantan-mantan aldo yang dulu, mereka tidak tahan terhadap sifat pelupanya itu. Mulai dari membatalkan janji, sampai lupa akan hari ulang tahun pacarnya sendiri, seperti yang tengah di alami oleh dinda. Maka dari itu tak sedikit yang memilih mundur daripada banyak memakan hati karenanya. Tapi entahlah dengan perasaan dinda, hati kecilnya selalu berkata bahwa ketidak sempurnaan aldo lah yang mewarnai hidupnya..
“sayaaang..” mencubit mesra dagu  kasar aldo. “Sabtu depan ikut acara anak-anak kelas aku yuk”
“kemana?”
“ke puncak. Paling 3 hari disana. Ngisi liburan aja sehabis ulangan. Mau yaaa?” pintanya. Tanpa argumen apapun aldo langsung menyetujui permintaan dinda tersebut. Aldo berfikir mungkin memang itu saatnya untuk ia bisa menghabiskan waktu kembali bersama dinda, setelah beberapa lama otak dan fisik mereka telah terkuras pada ujian sekolah.
Ia memandang sejenak tatapan teduh penuh binar di hadapannya yang selalu mampu membuatnya tenang.
Dinda, Akan ku pastikan aku tak akan lupa kembali. Aku janji. gumamnya

                                      ***
Selang beberapa waktu setelah kejadian tersebut aldo mulai memperbaiki kebiasaan buruknya. Dinda selalu mengingatkan apapun kegiatan yang akan di lakukannya setiap hari. Seperti saat ini, ia baru saja rampung mengerjakan proyek sebuah usaha kuliner yang akan dirintis bersama teman-temannya nanti. Aldo merebahkan tubuhnya di atas sprei biru muda klub sepak bola ternama, ia melihat jam dinding yang terpampang manis di ujung ranjangnya. Jam itu menunjukan pukul 11.00 siang.
4 jam lagi harus jemput dinda.
“abang..” suara lembut ibu memanggil di tengah-tengah aldo sedang menatap kosong langit-langit kamarnya. Ternyata ibu sudah di depan pintu kamar aldo, mungkin sejak semenit yang lalu. “ngapain kamu bengong, nak?”
“eh ibu, engga ko bu, Cuma lagi istirahat aja karna capek. Ada apa bu manggil abang?”
“tolong kamu belanja ke supermarket ya, beli bahan-bahan buat bikin kue pesanan ibu-ibu PKK komplek sebelah. Pinggang ibu sakit lagi” ibu mengeluh, meminta aldo untuk berbelanja. Aldo sangat memaklumi, sejak penyakit rematik yang menyerang ibu 2 tahun yang lalu, itu sangat mengganggu ibu untuk beraktifitas. Tanpa menunggu aba-aba, dengan sigap aldo beranjak dari kasurnya dan mengambil daftar belanja yang ada di tangan ibunya dan berpamitan.
Sebenarnya aldo capek, ia ingin sekali beristirahat. Tapi ibu, aah.. tak mungkin ia menolak permintaan ibu. Wajah yang mulai banyak kerutan di tepi mata dan uban-uban yang mulai tumbuh itu sudah memperlihatkan fisiknya bukanlah muda lagi. Ia sudah renta. Aldo tahu, hanya kepada aldolah ibu menggantungkan harapan hidupnya di masa tua ini. Ayah aldo bekerja di pabrik bagian staff biasa yang pasti sudah di ketahui upahnya pas-pasan. Adik aldo, kirana, sudah meninggal 5 tahun yang lalu karena terkena DBD. Ibu hanya bisa membantu dengan berjualan kue pesanan orang-orang. Karena itu, kalau bukan aldo siapa lagi yang dapat membantu ibu?
Ia melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukan pukul 14.30, itu berarti sudah 3 jam setengah aldo berbelanja. Karena ada beberapa bahan yang tidak ia dapati di supermarket maka ia harus pergi ke pasar tradisional, itulah yang menghambatnya untuk segera pulang.
Hahh.. ibu pasti menunggu lama
Aldo menghela napas panjang sesampainya di muka rumah. Lalu ia mencari keberadaan  ibu, dan ia mendapati ibu seddang di dapur mempersiapkan alat-alat untuk membuat kue. “ini belanjaannya abang taruh di meja makan ya bu”
Ibu mengangguk pelan sebagai jawaban “gak ada yang kelupaan kan?”
“hehe ibu, mudah-mudahan gak ada. Yaudah aku ke rumah dinda ya bu”
“mau ngelancong ya?” ibu melirik dan tersenyum simpul menggoda aldo
ah ibu, kaya gak tau anak muda aja. Yaudah aku mau langsung berangkat”
Aldo pun berangkat bermodalkan sepeda motor matic kesayangannya berwarna merah metallic itu. Tak butuh waktu yang lama, Cukup dengan 15 menit akhirnya aldo sampai di depan kediaman dinda. Rumahnya nampak sedang tidak berpenghuni. Hanya ada seekor anjing coklat golden yang tengah terikat di salah satu pohon di halamannya.
Teeet.. teeet.. teeet..
3 kali sudah aldo membunyikan bel yang tersedia di pagar setinggi 2 meter tersebut. Satu menit – dua menit – tiga menit – dinda tetap tak muncul untuk menemuinya. Aldo mulai kesal. Sekali lagi ia membunyikan bel itu dengan durasi lebih panjang.
Teeeeeeeeet…
Dan benar saja, akhirnya dinda keluar dan membukakan pintu pagar untuk aldo
“ngapain kamu kesini?” sorotan matanya begitu tajam dan wajahnya yang mendongak, seakan-akan tak sudi akan kedatangan aldo kerumahnya.
“ko kamu ketus gitu sih sayang?”
Dinda hanya bisa mencibir dan melihat aldo dengan tatapan sinis “masuk aja dulu, udah gerimis” dinda menyadari rintik rintik air dari langit yang gelap mulai jatuh dan sebentar lagi akan turun hujan yang deras. Aldo mengikuti langkah dinda yang menuntunnya mempersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu. Rumahnya sangat sepi, yang bersuara hanyalah televisi yang kini ada di hadapan mereka berdua.
“kamu kenapa ? Aku di cuekin lagi sama kamu” aldo memulai pembicaraan untuk mencairkan suasana yang tegang. Sejak tadi dinda sibuk dengan handphonenya. Dia tak menghiraukan aut wajah aldo yang nampaknya sudah kebingungan dengan sikap dinginnya dinda. Dinda tak bergeming.
“aldo! Kamu itu benar-benar sudah kelewatan!” hentakan dinda memecah keheningan di antara mereka setelah ia sadar cukup lama ia mengacuhkan aldo. Sontak aldo kaget terperanjat mendengar hentakan seperti itu.
“aku kenapa lagi sih, sayang?” aldo menjawab acuh tak acuh dan melempar pandangannya pada layar televisi. Ia tidak peduli lagi. Mendengar ocehan dinda membuatnya semakin pusing
“ya tuhan, aldooo kamu itu . .”
Belum sempat dinda menyelesaikan kata-katanya, tangan kekar aldo membungkam mulutnya dengan cepat “lihat berita itu.. kamu jangan marah-marah terus..”
Dinda langsung duduk terdiam menuruti perintah aldo untuk menyaksikan berita yang ada. Mereka melihat sang reporter tengah meliput kejadian kecelakaan secara live dari kawasan puncak. Di beritakan ada segerombolan motor dari luar daerah yang sedang melewati sebuah jembatan kayu dan seketika jembatan itu roboh karena di perkiraan cuaca yang saat itu memang sedang turun hujan dan air sungai langsung meluap. Semua motor masuk ke dalam sungai. Sejumlah korban ditemukan tewas dan yang lainnya dalam pencarian. Dari identitas yang ada, korban yang meninggal adalah para pelajar dari SMA 01 jayakarta
“aldooooo..!! “ dinda menangis histeris di pelukan aldo. aldo hanya bisa terdiam terpaku melihat mayat teman-temannya dari balik layar dibawa dalam keadaan sudah tidak bernyawa lagi. Mereka berdua begitu shock melihat kejadian tragis tersebut. Aldo memeluk dinda. Menenangkannya. Aldo baru teringat akan janjinya kepada dinda untuk berlibur ke puncak bersama teman-temannya hari ini, ya tadi siang saat aldo sedang pergi berbelanja. Aldo benar-benar lupa. Tapi Aldo sangat bersyukur, kalau bukan karena dia lupa dengan acara tersebut mungkin saat ini aldo tidak tahu bagaimana nasib mereka berdua. Selamat atau berakhir sama dengan yang lainnya. Tubuh dinda bergetar seiring tangis isaknya semakin kencang.
Aldo mendekap tubuh dinda erat. Sangat erat “kita selamat sayang..”
                                     
                                      *****

Kamis, 10 Oktober 2013


                                                              Pelangi di senja merahku


“Mamah mau aku punya calon suami yang mapan”
Kata-kata itu terngiang kembali di telinga miko. Tak ada maksud sama sekali untuk mengingat hal tersebut, tapi kalimat  itu mempunyai kekuatan memori yang sangat kuat dalam benaknya. Ia tak dapat mengelaknya sekalipun ia coba tuk melupakannya.
“aku yakin orang itu adalah kamu sayang.. kamu suami yang layak untuk aku”
Arrrgghh..
Miko menghepaskan tubuhnya di atas ranjang berkaus putih ukuran sedang. Dengan geram dipukulinya guling yang tergolek lemas tak berdaya disampingnya, seakan pasrah saja menerima beberapa hantaman keras dari kepalan tangannya yang kekar, seakan guling itu mengerti betapa pilu perasaan miko saat ini, seakan guling itu juga paham bahwa saat ini miko butuh sandaran untuk mengeluhkan beban yang sedang dipikulnya. Beban itu terlalu berat baginya.
Dreeeet.. dreeet.. dreeet..
Handphone nya bergetar seiring lagu hard core melantun keras menandai adanya pesan yang masuk dalam poselnya. Ia nampak ragu-ragu. Ia tak yakin harus mengambil ponselnya. Ia tidak tahu pesan itu membawa kabar yang baik atau yang buruk baginya.
Ia membuka pesan tersebut dengan mantap.
‘Nanti jam 8 jangan lupa ke rumahku ya’
Sesak. Hatinya terasa sesak mendapati kalimat tersebut. Entah apa yang harus ia rasakan. Sedih ataukah bahagia karna sinta mau menghubunginya? Miko mematung dalam beberapa saat. Ia meresapi apa yang hatinya rasakan kini.
Sinta. Sinta adalah sosok wanita yang sangat ia idam-idamkan sejak dahulu. Ia mengenalnya saat duduk di bangku kuliah. Mereka satu jurusan. Sinta berparas cantik, berakhlak baik, dan juga cerdas. Sinta menjadi salah satu primadona di kampusnya dulu. Seperti kebanyakan pria lain, tak heran miko juga sangat tergila-gila padanya.
Berbagai cara ia lakukan untuk mendekati sang pujaan hatinya tesebut. Dengan usaha yang gigih, akhirnya dalam waktu lima bulan miko berhasil mendapatkan sinta.
“sampai kapan ya kita bisa kaya gini terus?” sinta berujar seraya memeluk erat pinggangnya dari belakang
“sampai nanti sayang. Selamanya”
“apa kamu yakin?”
“yakin. Kamu ya yang gak yakin?” ia menoleh ke belakang. Di dapatinya seuntai senyuman manis memabukan alam sadarnya. Ia sadar betul ia benar-benar mencintai wanita tersebut.
Miko tak pernah membiarkan siapapun mendekati permaisurinya. Ia tak mau jika harus melepaskan sinta yang di dapatinya dengan susah payah. Miko selalu berusaha menjaga dan membahagiakan sinta agar ia nyaman berada di dekatnya.
Saat ini mereka akan pergi ke Taman, dimana taman itu adalah tempat pertama kali mereka berkencan. Mereka sedang merayakan hari jadi mereka yang ke-5 tahunnya. Bermodalkan sepeda motor keluaran tahun lalu, mereka menumpakinya selayaknya sepasang makhluk tuhan yang sedang dilanda asmara. Begitu mesra.
Sesampainya di taman mereka berdua duduk di bangku kayu favorit mereka yang nampaknya sudah termakan waktu. Di sampingnya terdapat sebuah pohon rindang yang begitu teduh untuk menaungi siapapun yang berada di bawahnya. Matahari sore mencuri curi-curi sinar dari halangan dahan-dahan pohon, nampak berkilauan seperti Kristal menyentuh rambut kecoklatan sinta.
 Hahh.. cantiknya pacarku.
Miko sangat menantikan momen-momen senja merekah dikejauhan. Ia yakin selalu ada harapan baru disana. Dalam angannya. Bersama sinta.
 “miko?”
“hah?” timbalnya seraya menjilati ice cream coklat kesukaannya “kenapa sayang?”
“aku ingin menikah”
Glekk! Miko menelan ludahnya. Kaget “menikah? Dengan siapa?”
“kamu sayang..”
Miko terdiam. Begitu pula sinta. Keduanya terdiam mematung. Kaku.
“aku yakin orang itu adalah kamu sayang.. kamu suami yang layak untuk aku”
Ia tetap terdiam menatap wajah kekasihnya yang begitu sayu. Diam-diam ia merasa bahagia sinta mengatakan itu semua. Tapi dia merasa ada sesuatu yang ganjal. Matanya. Mata sinta. Ya, matanya berkata lain. Miko yakin.
“tapi..”
“tapi apa sayang? Katakan..”
“Mamah mau aku punya calon suami yang mapan”
“lalu?”
“mamah sudah menjodohkan ku dengan yang lain..” air mata nya berlinang seiring pelukan dari miko mengerat. Begitu erat. “aku ga bisa berbuat apa-apa lagi miko.. aku sudah mencoba untuk meyakinkan kedua orang tuaku. Tapi tak bisa. Mereka memaksa. Maafkan aku..”
Terlihat miko berupaya keras agar air matanya tak jatuh saat itu juga. Ia merasakan sangatlah pahit pernyataan dari sinta. Bagai berjuta-juta belati sedang menyayat-nyayat hatinya secara perlahan.
Prasangka buruknya memang benar adanya. Sakit!
“sudahlah sayang, tak apa. aku yakin itu keputusan yang terbaik. Aku juga ingin kau hidup bahagia dengan kemapanan yang akan di berikan suamimu kelak..” ujar miko bijak.
Terdengar isak tangis sinta semakin menjadi. Begitu pilu. Miko iba terhadapnya, juga terhadap dirinya sendiri, terhadap perasaannya. Seketika ia teringat masa-masa indah yang selama ini telah di rajutnya bersama sinta. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar, ia tahu akan hal itu. Tak mudah baginya untuk melepaskan seseorang yang sangatlah berharga mengingat beratnya perjuangan untuk mendapatkan sinta. Tapi, ia mencoba ikhlas..
Karena dia meyakini, dia bukanlah seseorang yang pantas untuk wanita seperti sinta. Apa yang akan dibanggakan dari pekerjaan miko sekarang ini? Sepertinya tidak ada. Miko membatin.
Angin malam terasa berbeda. Menusuk tulang rusuk hingga kalbu terdalam. Dingin. Hari ini dia sudah mengahbiskan waktu dari pagi, menyibukan dirinya dengan berbagai macam kegiatan yang sebenarnya tidak terlalu penting. Ia sengaja. Hari ini adalah hari pernikahan sinta. Bertepatan sebulan setelah hari yang cukup menyakitkan dirinya untuk berpisah dari sang pujaan hati, ia mencoba tuk tidak memfokuskan otaknya pada pernikahan tersebut.
Dreeeet.. dreeet.. dreeet
Sebuah pesan masuk ke dalam handphonenya. Ya, pesan dari sinta. Ia meminta miko untuk datang dalaam acara pernikahannya jam 8 malam ini.
‘Nanti jam 8 jangan lupa ke rumahku ya’
‘iya, aku pasti datang..’ balasnya
Dengan sekuat tenaga miko mencoba untuk berdiri tegak menghempaskan nafas sekuat tenaganya. Perlahan namun pasti awan kelabu yang telah menutupi sanubarinya selama sebulan ini mulai tersapu. Miko sadar, semua kejadian yang ada dimuka bumi adalah kehendak sang pencipta. Mati, hidup dan jodoh seseorang tak ada yang tahu selain Tuhan Yang Maha Esa. Dan sinta adalah salah satu jembatan yang ia yakini untuk mencapai kebahagiaan lain di ujung serabut senja miliknya.
Langkah kaki yang pasti ia menelusuri balkon menuju pagelaran acara pernikahan sinta. Dari kejauhan ia menemui sosok cantik yang dikenalnya bertahun-tahun bersama seorang pria yang menurutnya tampan dan mapan. Seperti yang dikehendaki oleh sang ibu.
Namuni kini ia merasa berbeda. tak ada lagi rasa sesak di dadanya seperti waktu lalu. Miko benar-benar telah mengikhlaskan semua yang Tuhan beri.
“aku yakin engkau telah menyiapkan pelangi di ujung senja merahku”  

                                                                               ***